Tembang Sunda Cianjuran
Tembang Sunda Cianjuran adalah
salah satu jenis kesenian yang berasal dan terkenal di Jawa Barat. Sesuai
namanya, kesenian ini berasal dari Cianjur. Awalnya, kesenian ini hanya
merupakan kalangenan bagi kaum menak (bangsawan) di Kabupaten Cianjur. Tokoh penciptanya dikenal dengan julukan
“Kangjeng Dalem Pancaniti” yang nama aslinya yaitu, RAA Kusumaningrat. Dalam
pembuatan lagu, Bupati sering tinggal
disebuah bangunan Pancaniti. Oleh karena itu, dia terkenal dengan nama Kangjeng
Dalem Pancaniti. Dalem Pancaniti merupakan Bupati Cianjur yang ke-7 memerintah
pada tahun 1834-1864. Sedangkan Tembang Sunda Cianjuran ini lahir sekitar abad
ke19 tahun 1840. Kesenian ini, selanjutnya menyebar ke seluruh Jawa Barat. Tokoh
penyebarannya adalah Rd. Etje Majid (Keluarga dekat Bupati Cianjur) yang juga
salah seorang seniman Pendopo Cianjur diperintah oleh putera Dalem Pancaniti
yaitu RAA Prawiradirja II, 1864-1910. Karena, pada mulanya kesenian mamaos ini
dinyanyikan oleh kaum pria. Baru pada perempat pertama sekitar abad ke-20
mamaos bisa dipelajari oleh wanita.
Di Cianjur, nama kesenian ini
sebenarnya “mamaos”. Dinamakan Tembang Sunda Cianjuran sejak 1930-an dan
dikukuhkannya pada tahun 1962 ketika diadakan Musyawarah Tembang Sunda sa
Pasundan di Bandung. Dinamakan Tembang Sunda Cianjuran karena agar bisa
dibedakan dengan jenis Tembang yang lain, seperti Tembang Sunda Cigawiran, dan
Tembang Sunda Ciawian.
Pertunjukan Tembang Sunda Cianjuran
merupakan seni vokal yang diiringi dengan alat musik, diantaranya Kacapi
indung, Kacapi rincik, suling, rebab. Lagu-lagu dalam Tembang Sunda Cianjuran
terdiri atas dua jenis yaitu lagu-lagu mamaos dan lagu-lagu panambih. Yang
disebut lagu mamaos adalah lagu khas Cianjuran yang disebut sekar irama
merdika. Disebut sekar irama merdika, karena dalam penyajiannya seolah-olah
merdoka, atau beba. Lagu mamaos tidak terikat dengan birama atau ketukan, tidak
terikat oleh aturanj gending tradisi seperti wiletan atau goongan. Hanya nada
dasarnya tetap terikat dengan nada-nada waditra pengiringnya. Sedangkan yang
disebut lagu panambih adalah sebaliknya, cara melagukannya terikat oleh birama,
ketukan yang tetap, wiletan, maupun goongannya. Dengan demikian, saat
melantunkan lagu mamaos, juru pirignya yang harus mengikuti suara juru mamaos,
sedangkan dalam lagu panambih sebaliknya, juru mamaos (penembang) yang harus
mengikuti irama dari juru pirignya (pemain alat musik).
Lagu dalam Tembang Sunda Cianjuran
ini, dapat dikelompokan ke dalam 6 jenis wanda, yakni papantunan, Jejemplangan,
Dedegungan, Rarancagan, Kakawen (dadalangan), dan Panambih.
Lagu Papantunan dan Jejemplangan
itu merupakan lagu asli Cianjuran, terdapat ciri yang membedakan dengan wanda
yang lain, yaitu, bentuk sajiannya merupakan sekar gending lengkap, baik
sekarnya maupun gendingnya sudah diciptkan khusus, lirik lagunya diambil dari
lirik carita Pantun Mundinglaya di Kusumah meskipun kini sudah banyak juga yang
menggunakan lirik-lirik berbentuk pupuh, senggol atau ornamennya mendasari
wanda lainnya dalam Cianjuran, disajikannya hanya laras pelog saja. Lagu dalam
papantunan diantaranya, Papatet, Rajamantri, Mupu Kembang, dan sebgainya.
Sedangkan, dalam wanda jejemplangan, diantaranya Jemplang Panganten, Jemplang
Titi, jemplang Pamirig, dan sebagainya.
Wanda Dedegungan cirinya hanya
tampak dalam alunan lagunya saja yang menggunakan ornamen atau senggol yang
berasal dari lagu Degung klasik yang berbentuk instrumentalia seperti, Ladrak,
Palwa, Sang Bango, dan sebagainya. Liriknya semua berupa pupuh, yaitu Sinom
Degung, Asmarandana Degung, dan sebagainya. Pirigannya hanya masieup tidak
memiliki pirigan khusus seperti Papantunan dan Jejemplangan. Disajikannya hanya
dalam laras degung/ pelog.
Wanda Rarancagan ditampilkan dalam
beberapa laras dan surupan, yaitu laras Pelog, Salendro, dan Nyorog (Madenda).
Lirik lagunya berbentuk Pupuh yaitu dari Pupuh Kinanti, Asmarandana, Sinom,
Dangdanggula. Nama lagunya contohnya Bayubud, Mananggis, Ketar Cisaat, Setra,
dan sebagainya.
Wanda Kakawen yang merupakan
tradisi dalang Wayang Golek di Priangan yang melagukan kakawen, nama lagunya,
seperti, Kayu agung, Waringin Sungsang, Toya Mijil, sebrakan Sapuratina, dan
lain-lain.
Dan yang disebut Panambih adalah
lagu yang bersifat panambih (ekstra), yaitu lagu lagu segar atau penenang
sehabis mamaos. Panambih tidak
menggunakan lirik sastra pantun maupun pupuh. Lagu panambih hanya menggunakan
sisindiran dan puisi bebas. Seperti Nyawang Bandung, karanginan, Ayun ambing,
dan sebagainya.
Pertunjukannya didalam acara
kalangenan, khusus penyajian Cianjuran secara kekeluargaan antar seniman dan
pemerhati biasanya berlaku di Cianjur. Pemerhati duduk melingkar, tertib,
diawali dengan gending bubuka kacapi suling dilanjutkan dengan lagu Papantunan,
Dedegungan kemudian Jejemplangan dan yang terakhir Rarancagan sambil diselingi
lagu panambih. Dilakukan oleh para seniman mamaos yang ada. Sedangkan dalam
acara pergelaran khusus, pergelaran akan dibatasi waktunya, dab harus
disesuaikan dengan tuntutan penyajian seni pertunjukan.
Baik dalam acara kalangenan maupun
pergelaran khusus, kesenian ini tetap disajikan secara tradisional, yaitu
seniman semuanya duduk bersimpuh dengan busana khas Sunda. Wanita memakai
kebaya dan sanggul, laki-laki memakai udeng dan takwa.
Pada perkembangannya, kesenian ini
tetap berfungsi sebagai kalangenan seperti dahulu, namun sekarang bisa
dinikmati oleh semua jenis kalangan bukan hanya kalangan menak saja. Sekarang,
Tembang Sunda Cianjuran sering dipakai dalam hajatan, seperti pernikahan,
khitanan, berbagai keperluan adat, dan juga mudah dipelajari dan ditemukan di
kalangan masyarakat.
Penulis : ALYAA BILQIIS
NIM : 18123093
Sumber : Soepandi, Atik. Dkk. Ragam Cipta Mengenal Seni
Pertunjukan Daerah Jawa Barat. 1995. Bandung.
Nalan, S Arthur. Dkk. Deskripsi Kesenian Jawa Barat. 2003.
Dinas kebudayaan dan Pariwisata Jawa Barat. Bandung.
Sumber Photo : 1. Dokumentasi pribadi Irwan Setiawan @irwantutripor
(Mahasiswa ISBI BANDUNG) dalam acara Resital Karawitan.
2. Dokumentasi pribadi Bunga Dessri N.G @tintadanwarna (Alumni ISBI BANDUNG) dalam
acara Resital Karawitan 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar