Kesenian Bajidoran
Mengamati
pertunjukan Bajidor yang hidup dan berkembang di masyarakat Karawang, maka di duga
pertunjukan tersebut merupakan trasformasi dari pertunjukan Ketuk Tilu.
Unsur-unsur yang esensial pada Ketuk Tilu masih tampak dalam pertunjukan hiburan
pribadi serta dari lagu-lagu dan tarian yang digunakan.
Perubahan ketuk tilu menjadi perubahan bajidoran melalui
proses yang bergulir sejalan dengan perkembangan zaman.
Faktor yang
melandasi perubahan adalah adanya kemampuan manusia dalam berbagai bidang,
terutama kemajuan pikiran, teknologi, etika, dan politik yang berkaitan dengan
ilmu pengetahuan perubahan juga tidak terlepas dari pemerintah dengan maksud
membenahi kesenian agar terhindar dari tingkah laku negatif terutama kontak
fisik yang dilakukan antara pria dan wanita.
Kemunculan Bajidor
Tanda-tanda kemunculan bajidor di duga muncul pada tahun
1950 an, di awali dengan maraknya pertunjukan wayang golek yang disertai
tari-tarian. Pada saat itu pertunjukan wayang golek sangat di gandrungi
masyarakat, dan pertunjukannya sering di embel-embeli dari para penonton, sudah
menjadi kebiasaan pada pertunjukan wayang golek selalu di sajikan lagu-lagu
sebagai selingan dari lakon yang di bawakan dalang. Dengan banyaknya permintaan
lagu dari penonton sehingga mengganggu lakon yang di bawakan oleh dalang maka
di berikanlah waktu pada acara setelah pagelaran wayang di sambung dengan
acaara hiburan bajidoran hingga menjelang fajar. Bajidor adalah sebutan bagi orang
yang suka Bajidoran, dalam arti mereka yang aktif dan ikut terjun di dalamnya.
Diperkirakan
kemunculan kata bajidor muncul dari kependekan banjet, tanji, dan bodor (karena di dalamnya bajidor terdapat lawakan). Dan ada istilah lain yang
mengatakan bahwa bajidor adalah (barisan jiwa doraka) mengapa demikian karena
watak dari seorang bajidor mencerminkan sikap negatif. Awal kemuncul bajidor di
duga di pelopori oleh mantan penari laki-laki atau para penggemar ketuk tilu yang
dahulu di kenal sebagai istilah pamogaran. Lama- kelamaan istilah pamogaran
menghilang seiring dengan minat masyarakat Karawang terhadap Seni Ketuk Tilu.
Kemudian muncul Bajidoran yang memiliki kesamaan dalam beberapa hal dengan Ketuk Tilu, terutama lagu-lagu maupun pola gerak yang di gunakan adalah pola
ketuk tilu-an.
Pertunjukan bajidor
Perbedaan
yang cukup menonjol muncul antara ketuk tilu dan bajidor adalah jarak antara
sinden dengan bajidor. Dalam ketuk tilu, ronggeng, dan pamogaran keduanya
menari bersama, sedangkan dalam bajidoran keduanya berbeda dengan tempat yang
terpisah. Bajidor merupakan sajian yang penuh dengan nuansa erotik. Bila berada
dalam arena bajidor seakan akan berada dalam diskotik tebuka, penuh kehangatan,
kegairahan, kehingar- bingahan, disertai aroma minuman beralkohol, dan tiupan
angin malam.
Bajidor di
pentaskan dalam acara pesta perkawinan, khitanan, dan perayaan hari-hari besar seperti ulang tahun
kemerdekaan atau hari jadi suatu daerah, karena disamping memiliki makna ritual
juga dianggap sebagai aset bisnis. Bajidor merupakan sebuah bentuk pertunjukan rakyat
yang terbentuk, hidup, tumbuh, dan berkembang ditengah masyarakat pedesaan,
oleh sebab itu bentuk sajian bersifat sederhana. Namun demikian dari
keserderhanaan itu muncul daya tarik yang luar bisa. Bajidor memiliki karisma
tertentu, di takuti, bahkan dihormati. Hal ini disebabkan dahulu para bajidor
itu dianggap sebagai jago-jago silat dan berduit.
Musik
pengiring bajidor terdiri dari seperangkat gamelan salendro. Sementara
gerak-gerik yang di ungkapkan oleh
penari adalah ungkapan bebas sesuai dengan keinginan dan kemampuan pelaku.
Namun yang terpenting adalah sesuai lagu dan tepakan kendangnya. Anggota
pertunjukannya terdiri dari sekelompok sinden yang umumnya dapat menari dan
menyanyi, kelompok penabuh gamelan, dan kelompok bajidor atau penggemar dari
seni bajidor, baik yang bisa menari atau tidak. Sinden yang berperan sebagai
penari dan penyanyi ini, kemungkinan besar merupakan trasformasi dari ronggeng
dalam seni ketuk tilu.
Perkembangan Bajidor
Bajidor
dalam perkembangannya lebih dikenal sebutan kiliningan atau kiliningan
bajidoran, selanjutnya setelah masuk pengaruh jaipongan dari daerah bandung muncul
istilah baru yaitu kiliningan-jaipongan, atau jaipongan saja. Mungkin
masyarakat mengagap bahwa seni jaipong lebih populer di Jawa Barat, dan pelaku
seninya lebih bangga jika menyebut kelompoknya dengan grup jaipongan.
Sisi-sisi
positif dalan arena bajidor adalah sebagai ajang bertemannya rakyat, ajang
bertemuannya gaya, ajang transaksi ekonomi/bisnis, ajang silaturahmi, ajang
hiburan, sehingga terjadi interaksi antara mereka. Namun dari sisi negatif,
disadari atau tidak, arena bajidor menjadi sebuah arena persaingan status, persaingan multi lapis.
Penulis : Dodi Iskandar
Nim : 18123106
Sumber : Herdiani, Een. 2003. Bajidoran di
Karawang Kontuitas dan Perubahan. Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar