Rabu, 08 Mei 2019

Kesenian Bajidoran

Kesenian Bajidoran

Mengamati pertunjukan Bajidor yang hidup dan berkembang di masyarakat Karawang, maka di duga pertunjukan tersebut merupakan trasformasi dari pertunjukan Ketuk Tilu. Unsur-unsur yang esensial pada Ketuk Tilu masih tampak dalam pertunjukan hiburan pribadi serta dari lagu-lagu dan tarian yang digunakan. Perubahan ketuk tilu menjadi perubahan bajidoran melalui proses yang bergulir sejalan dengan perkembangan zaman.
Faktor yang melandasi perubahan adalah adanya kemampuan manusia dalam berbagai bidang, terutama kemajuan pikiran, teknologi, etika, dan politik yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan perubahan juga tidak terlepas dari pemerintah dengan maksud membenahi kesenian agar terhindar dari tingkah laku negatif terutama kontak fisik yang dilakukan antara pria dan wanita.

Kemunculan Bajidor
            Tanda-tanda kemunculan bajidor di duga muncul pada tahun 1950 an, di awali dengan maraknya pertunjukan wayang golek yang disertai tari-tarian. Pada saat itu pertunjukan wayang golek sangat di gandrungi masyarakat, dan pertunjukannya sering di embel-embeli dari para penonton, sudah menjadi kebiasaan pada pertunjukan wayang golek selalu di sajikan lagu-lagu sebagai selingan dari lakon yang di bawakan dalang. Dengan banyaknya permintaan lagu dari penonton sehingga mengganggu lakon yang di bawakan oleh dalang maka di berikanlah waktu pada acara setelah pagelaran wayang di sambung dengan acaara hiburan bajidoran hingga menjelang fajar. Bajidor adalah sebutan bagi orang yang suka Bajidoran, dalam arti mereka yang aktif dan ikut terjun di dalamnya.
Diperkirakan kemunculan kata bajidor muncul dari kependekan banjet, tanji, dan bodor (karena di dalamnya bajidor terdapat lawakan). Dan ada istilah lain yang mengatakan bahwa bajidor adalah (barisan jiwa doraka) mengapa demikian karena watak dari seorang bajidor mencerminkan sikap negatif. Awal kemuncul bajidor di duga di pelopori oleh mantan penari laki-laki atau para penggemar ketuk tilu yang dahulu di kenal sebagai istilah pamogaran. Lama- kelamaan istilah pamogaran menghilang seiring dengan minat masyarakat Karawang terhadap Seni Ketuk Tilu. Kemudian muncul Bajidoran yang memiliki kesamaan dalam beberapa hal dengan Ketuk Tilu, terutama lagu-lagu maupun pola gerak yang di gunakan adalah pola ketuk tilu-an.

Pertunjukan bajidor
Perbedaan yang cukup menonjol muncul antara ketuk tilu dan bajidor adalah jarak antara sinden dengan bajidor. Dalam ketuk tilu, ronggeng, dan pamogaran keduanya menari bersama, sedangkan dalam bajidoran keduanya berbeda dengan tempat yang terpisah. Bajidor merupakan sajian yang penuh dengan nuansa erotik. Bila berada dalam arena bajidor seakan akan berada dalam diskotik tebuka, penuh kehangatan, kegairahan, kehingar- bingahan, disertai aroma minuman beralkohol, dan tiupan angin malam.
Bajidor di pentaskan dalam acara pesta perkawinan, khitanan, dan perayaan hari-hari besar seperti ulang tahun kemerdekaan atau hari jadi suatu daerah, karena disamping memiliki makna ritual juga dianggap sebagai aset bisnis. Bajidor merupakan sebuah bentuk pertunjukan rakyat yang terbentuk, hidup, tumbuh, dan berkembang ditengah masyarakat pedesaan, oleh sebab itu bentuk sajian bersifat sederhana. Namun demikian dari keserderhanaan itu muncul daya tarik yang luar bisa. Bajidor memiliki karisma tertentu, di takuti, bahkan dihormati. Hal ini disebabkan dahulu para bajidor itu dianggap sebagai jago-jago silat dan berduit.
Musik pengiring bajidor terdiri dari seperangkat gamelan salendro. Sementara gerak-gerik yang  di ungkapkan oleh penari adalah ungkapan bebas sesuai dengan keinginan dan kemampuan pelaku. Namun yang terpenting adalah sesuai lagu dan tepakan kendangnya. Anggota pertunjukannya terdiri dari sekelompok sinden yang umumnya dapat menari dan menyanyi, kelompok penabuh gamelan, dan kelompok bajidor atau penggemar dari seni bajidor, baik yang bisa menari atau tidak. Sinden yang berperan sebagai penari dan penyanyi ini, kemungkinan besar merupakan trasformasi dari ronggeng dalam seni ketuk tilu.

Perkembangan Bajidor
Bajidor dalam perkembangannya lebih dikenal sebutan kiliningan atau kiliningan bajidoran, selanjutnya setelah masuk pengaruh jaipongan dari daerah bandung muncul istilah baru yaitu kiliningan-jaipongan, atau jaipongan saja. Mungkin masyarakat mengagap bahwa seni jaipong lebih populer di Jawa Barat, dan pelaku seninya lebih bangga jika menyebut kelompoknya dengan grup jaipongan.
Sisi-sisi positif dalan arena bajidor adalah sebagai ajang bertemannya rakyat, ajang bertemuannya gaya, ajang transaksi ekonomi/bisnis, ajang silaturahmi, ajang hiburan, sehingga terjadi interaksi antara mereka. Namun dari sisi negatif, disadari atau tidak, arena bajidor menjadi sebuah          arena persaingan status, persaingan multi lapis.

https://www.google.com/url?sa=i&rct=j&q=&esrc=s&source=images&cd=&ved=&url=https%3A%2F%2Fwww.ayobandung.com%2Fread%2F2018%2F11%2F29%2F41128%2Fmenelisik-sejarah-kesenian-bajidoran&psig=AOvVaw2rldIdKdhXvbidYTS6BmTz&ust=1557474195961511





Penulis           : Dodi Iskandar
Nim                : 18123106
Sumber      : Herdiani, Een. 2003. Bajidoran di Karawang Kontuitas dan Perubahan. Bandung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar