Kamis, 30 Mei 2019

Kesenian Gamelan Degung


Gamelan Degung


Degung merupakan salah satu gamelan khas dari hasil kreativitas masyarakat sunda. Gamelan yang kini jumlahnya telah berkembang pesat, diperkirakan awal perkembangannya sekitar abad ke 18/ awal abad ke 19. Jaap Kunst yang mendata gamelan.
Masyarakat Sunda dengan latar belakang kerajaan yang terletak di hulu sungai, Kerajaan Galuh misalnya, memiliki pengaruh tersendiri terhadap kesenian degung, terutama lagu-lagunya yang yang banyak diwarnai kondisi sungai, di antaranya lagu Manintin, Galatik Manggut, Kintel Buluk, dan Sang Bango. Kebiasaan marak lauk masyarakat Sunda selalu diringi dengan gamelan renteng dan berkembang ke gamelan degung.
Dugaan-dugaan masyarakat Sunda yang mengatakan bahwa degung merupakan musik kerajaan atau kadaleman dihubungkan pula dengan kirata basa, yaitu bahwa kata “degung” berasal dari kata "ngadeg" (berdiri) dan “agung” (megah) atau “pangagung” (menak; bangsawan), yang mengandung pengertian bahwa kesenian ini digunakan bagi kemegahan (keagungan) martabat bangsawan. E. Sutisna, salah seorang nayaga Degung Parahyangan, menghubungkan kata “degung” dikarenakan gamelan ini dulu hanya dimiliki oleh para pangagung (bupati). Dalam literatur istilah “degung” pertama kali muncul tahun 1879, yaitu dalam kamus susunan H.J. Oosting. Kata "De gong" (gamelan,bahasa Belanda) dalam kamus ini mengandung pengertian “penclon-penclon yang digantung”.
Gamelan yang usianya cukup tua selain yang ada di keraton Kasepuhan (gamelan Dengung) adalah gamelan degung Pangasih di Museum Prabu Geusan Ulun, Sumedang. Gamelan ini merupakan peninggalan Pangeran Kusumadinata (Pangeran Kornel), bupati Sumedang (17911828).
Gamelan Degung adalah semacam waditra pukul (instrumen perkusi) berbentuk 6 buah gong kecil yang tentunya berlaras Degung.  Biasanya di gantungkan secara berderet pada sebuah gantungan yang disebut ancak/rancak. Sekarang waditra ini dijadikan nama perangkat waditra yang disebut “Gamelan Degung”
Fungsi gamelan kesenian ini sebagaimana telah disebutkan bahwa gamelan Degung digemari oleh pangagung sebagai media hiburan kepada para tamu undangan. Adapun fungsi gamelan Degung pada saat ini adalah sebagai media hiburan pada resepsi-resepsi pernikahan, khitanan, kalangenan dan lain sebagainya. Selain itu gamelan Degung sering digunakan untuk mengiringi upacara adat pernikahan, upacara penyambutan tamu dan mengiringi tari dalam pertunjukan. Dan bagi orang-orang asing, gamelan Degung dijadikan bahan penelitian sebagai perbandingan music-musik yang ada di dunia.
Gamelan degung ini menggunakan laras degung, dan bukan hanya menggunakan gong gantung namun ada lagi seperti :
-          Jenglong (degung) berfungsi sebagai “balunganing gending”
-          Boning (kolenang) berfungsi sebagai “murda lagu”
-          Peking berfungsi sebagai lilitan lagu
-          Panerus berfungsi sebagai kemprangan
-          Goong berfungsi sebagai pengatur “wiletan” disebut “raksa wiletan”
-          Kendang berfungsi sebagai “uparengga lagu”
Pada pertumbuhannya gamelan Degung tidak disertai dengan “sekar” (vocal). Sekarang lazim gamelan degung disertai dengan sekar, baik “anggana sekar” (solo) atau “rampak sekar” (koor) dan juga bisa di tambahkan alat music lainnya seperti kacapi dan suling. Hal ini dimungkinkan dengan adanya penambahan waditra sebagaimana telah dikemukakan pada bagian terdahulu.
Gamelan Degung biasa dimainkan di acara rapat-rapat tertentu bisa juga di acara pernikahan, khitanan dan acara lainnya. Bentuk penyajianya, gamelan di simpan di bawah dan nayaga (pemain) duduk lesehan. Biasanya di acara rapat para nayaga tidak boleh meninggalkan tempat acara, dan harus menunggu sampai acara itu selesai. Dan gamelan Degung tidak hanya dimainkan oleh para nayaga  yang terdiri dari laki-laki, tapi gamelan Degung bisa juga dimainkan oleh nayaga wanita.
Demikian lah sedikit artikel yang mebahas tentang gamelan Degung, mohon maaf bila artikel ini masih banyak kekurangan dalam kata-kata dan materi dan saya harapkan para pembaca memakluminya.. Terima kasih..!!!!


Penulis           : Ahmad Putra Winengku
Nim                : 18123095
Sumber          :Entjar Tjarmedi, Entis Sutisna, Pandi Upandi S.Kar. Degung    Kemprangan. STSI Bandung.
Entjar Tjarmedi, Deded Suparman, Entis Sutisna, Asep Resmana. 1995. PEDOMAN LAGU-LAGU KLASIK DAN KREASI GAMELAN DEGUNG. STSI Bandung.
Sumber dokumentasi : Dokumen Pribadi.

Minggu, 26 Mei 2019

Kesenian Sisingaan

SISINGAAN


·         Pengertian
Sisingaan merupakan salah satu kekayaan budaya dalam bentuk seni tradisional yang berasal dari daerah Subang, Jawa Barat. Kesenian ini juga dikenal dengan sebutan Gotong Singa atau Odong-odong. Sampai sekarang, seni tradisioal ini masih berkembang dengan baik di daerah Subang, bahkan kesenian ini sudah terkenal sampai ke manca negara. Kesenian Sisingaan telah dimainkan oleh rakyat Subang pada saat melawan penjajah sebagai simbol pelecehan terhadap penjajah, yang melambangkan bahwa rakyat Subang tidak takut melawan penjajah pada saat itu. Saat ini, kesenian Sisingaan dimainkan untuk acara-acara khusus seperti acara menerima tamu kehormatan, acara khitanan anak, acara hari-hari besar dan sebagainya. Kabupaten Subang mengadakan festival Sisingaan pada tanggal 5 April setiap tahunnya diikuti oleh semua kecamatan yang ada di Subang untuk memeriahkan acara peringatan hari jadi Kabupaten Subang.
·         Sejarah
Seni pertunjukan Sisingaan berasal dari Kabupaten Subang, Jawa Barat. Kabupaten Subang sebagai salah satu kabupaten di kawasan utara Provinsi Jawa Barat  Awal munculnya sisingaan hingga pada masa sekarang adalah singa abrug. Singa abrug adalah permainan Sisingaan yang dimainkan oleh pemain yang aktif menari ke sana kemari dan patung singa yang dimainkannya seperti akan diadu. Singa abrug pertama kali berkembang di daerah Tambakan Kecamatan Jalan Cagak. Sisingaan dibuat dengan sangat sederhana, muka dan kepala singa dibuat dari kayu ringan seperti kayu randu atau albasiah, rambut Sisingaan dibuat dari bunga atau daun kaso dan daun pinus. Sedangkan badan Sisingaan terbuat dari carangka (kerajinan anyaman bambu) yang besar dan ditutupi oleh karung kadut (karung goni) atau ada pula yang dibuat dari kayu yang masih utuh atau kayu gelondongan. Untuk usungan Sisingaan dibuat dari bambu yang dipikul oleh empat orang.
KARAKTERISTIK
1. Komponen Sisingaan
Pertunjukan Sisingaan pada dasarnya dimulai dengan tetabuhan musik yang dinamis. Lalu diikuti oleh permainan Sisingaan oleh penari pengusung sisingaan, lewat gerak antara lain: Pasang/Kuda-kuda, Bangkaret, Masang/Ancang-ancang, Gugulingan, Sepakan dua, Langkah mundur, Kael, Mincid, Ewag, Jeblag, Putar taktak, Gendong Singa, Nanggeuy Singa, Angkat jungjung, Ngolecer,Lambang, Pasagi Tilu, Melak cau, Nincak rancatan, dan Kakapalan. Sebagai seni Helaran, Sisingaan bergerak terus mengelilingi kampung, desa, atau jalanan kota, sampai akhirnya kembali ke tempat semula. Didalam perkembangannya, musik pengiring lebih dinamis, dan melahirkan musik Genjring Bonyok dan juga Tardug.

2. Peralatan yang digunakan dalam Sisingaan

Peralatan yang digunakan dalam Sisingaan

Peralatan yang digunakan dalam permainan sisingaan antara lain:

  • Dua atau empat buah usungan boneka singa. Rangka dan kepala usungan boneka-boneka singa terbuat dari kayu dan bambu yang dibungkus dengan kain serta diberi tempat duduk di atas punggungnya. Bulu-bulu yang ada di kepala maupun ekor dibuat dari benang raffia sehingga bersifat permanen dan dapat digunakan berkali-kali. Pada awal munculnya Sisingaan, usungan yang berbentuk singa ini terbuat dari kayu dengan bulu dari kembang kaso dan biasanya dibuat secara dadakan pada waktu akan mengadakan pertunjukan sehingga bersifat tidak permanen dan hanya sekali pakai.
  • Waditra yang terdiri dari: dua buah kendang besar (kendang indung dan kendang anak), terompet, tiga buah ketuk (bonang), kentrung (kulanter), gong kecil, dan kecrek. -
  • busana pemain yang terdiri dari celana kampret/pangsi, ikat barangbang semplak, baju taqwa dan alas kaki tarumpah atau salompak.

3. Pemain Sisingaan

Pemain dalam pertunjukan seni tradisional Sisingaan
Sisingaan terdiri dari 8 orang pengusung Sisingaan, sepasang patung Sisingaan, penunggang Sisingaan, waditra, nayaga, dan sinden atau juru kawih. Secara filosofis, 4 orang pengusung Sisingaan melambangkan masyarakat pribumi yang ditindas oleh kaum penjajah, sepasang patung Sisingaan melambangkan 2 penjajah (Belanda dan Inggris), penunggang Sisingaan melambangkan generasi muda yang suatu saat harus mampu mengusir penjajah, dan nayaga melambangkan mayarakat yang gembira atau masyarakat Subang yang berjuang dan memberi motivasi terhadap generasi muda untuk dapat mengalahkan dan mengusir penjajah dari tanah air mereka.
Para pemain ini adalah orang-orang yang mempunyai keterampilan khusus, baik dalam menari maupun memainkan waditra. Keterampilan khusus itu perlu dimiliki oleh setiap pemain karena dalam sebuah pertunjukan sisingaan yang bersifat kolektif diperlukan suatu tim yang solid agar semua gerak tari yang dimainkan sambil menggotong boneka singa dapat selaras dengan musik yang dimainkan oleh para nayaga

CARA PEMENTASAN

1. Sisingaan diawali dengan kata-kata sambutan yang dilakukan oleh pemimpin kelompok.
2. Anak yang akan dikhitan atau tokoh masyarakat yang akan diarak dipersilahkan untuk menaiki boneka singa.
3. Alat pengiring ditabuh dengan membawakan lagu-lagu yang berirama dinamis sebagai tanda dimulainya pertunjukan.
4. 8 orang pemain akan mulai menggotong dua buah boneka singa (satu boneka digotong oleh 4 orang).
5. Pemimpin kelompok memberikan aba-aba kepada para pemain untuk melakukan gerakan tarian secara serempak dan akrobatis.
6. Lagu-lagu yang dimainkan sebagai pengiring tarian biasanya diambil dari lagu kesenian Sunda
7. Sisingaan dilakukan sambil mengelilingi kampung hingga akhirnya kembali ke tempat semula. Dengan sampainya pada penari ke tempat semula, maka pertunjukan Sisingaan berakhir.


Penulis : Sena Subagja
Nim      : 18123089

Gambar :


Kesenian Pantun

PANTUN

Seni pantun merupakan seni pertunjukan yang telah dikenal di Pasundan sejak abad ke-16. Seni ini tergolong seni pertunjukan yang telah mengalami kemunduran bahkan hampir punah, karena sudah jarang dipertunjukkan. Oleh karena itu generasi muda umumnya sudah tidak mengenalnya. Ada berbagai alasan tentang kemunduran ini, tetapi yang jelas umumya sudah berabad-abad.

Seni ini merupakan gabungan antara seni suara dan seni sastra. Melibatkan seni suara karena cara membawakan cerita dalam seni pantun dengan cara dinyanyikan (dikawihkan) dan melibatkan seni sastra karena cerita pantun berupa puisi ataupun prosa. Secara historis kata "pantun" dikenal pertama kali dalam sebuah naskah Sunda Kuno beijudul Sang Hyang Siksakanda Ng Karesian yang ditulis pada tahun 1518. Dalam naskah itu disebut-sebut tentang adanya cerita pantun dan juru pantun.

Menurut hash penelitian, dikenal 76 buah cerita pantun, antara lain : Ciung Wanara, Lutung Kasarung, Sulanjana, Jaka Susuruh, Munding Laya di Kusumah, Ngadegna Pajajaran, Ratu Pakuan, dan sebagainya.

Cerita pantun ini menurut beberapa ahli budaya Sunda adalah cerita Sunda Asli, warisan para leluhur yang belum terpengaruh kesusastraan dari daerah lain.

Cara membawakan cerita pantun -yang disebut sebagai mithologi Pajajaran oleh Iskandarwassid dan Henri Chambert loir, karena selalu mengagung¬agungkan Kerajaan Pajajaran- ada yang diceritakan biasa, ada yang disampaikan dalam bentuk dialog, adapula yang ditembangkan (dinyanyikan). Bagian yang diceritakan biasanya ketika menggambarkan tentang keadaan negara, keadaan tempat, atau perilaku seorang tokoh, misalnya ketika si tokoh menangis, marah, menghilang, dan sebagainya.

Bagian yang dinyanyikan yaitu ketika menggambarkan apa saja yang diterima oleh pancaindra: yang terlihat, terasa, terdengar. Misalnya waktu menggambarkan kecantikan seorang putri. Selain itu, bagian yang menggambarkan putri berdandan, atau tokoh Lengser bersiap-siap menjalankan perintah raja atau kecamuk perang, juga dinyanyikan. Pada pembukaan pertunjukan seni pantun, terlebih dahulu dibawakan rajah (permohonan izin kepada leluhur) yang dinyanyikan juga.

Pengertian Pantun
Arti kata pantun dalam Kesenian Pantun mempunyai dua pengertian. Pengertian yang pertama kata pantun itu berasal dari tiga bentukan yaitu:

Kata pantun berasal dan kata "part", dalam bahasa Jawa bersinonim dengan kata "parek" yang artinya dekat. Bentuk halus dan kata pan adalah pantun. Maksud dari pengertian kata tadi adalah di dalam konteks kalimat Cerita Pantun banyak kata-kata yang memiliki suara yang sama (purwakanti).

Di dalam kirata basa (dikira-kira tapi nyata) atau disebut pula sebagai etimologi rakyat, kata pantun merupakan akronim dari papan ditungtun tungtun, karena pada umumnya juru pantun (tukang pantun) tempo dulu biasanya tuna netra, jika betjalan memakai papan (tongkat) yang ditungtun.

Pantun yaitu bentuk alat kesenian serupa kecapi yang agak besar dan kecapi biasa, disebut juga kecapi perahu karena bentuknya seperti perahu. Dalam memainkan instrumen ini, pemainnya menggunakan jari-jemari kiri-kanan sekaligus. Jari-jari tangan kanan biasanya untuk melodi, sedangkan yang kin untuk bass-nya. Senar-senarnya disusun berurutan dan yang terpendek untuk nada-nada tinggi berangsur semakin panjang untuk nada-nada yang berangsur pula merendah. Ukuran senar, mulai dengan ukuran kecil untuk nada-nada tinggi dan berangsur semakin membesar untuk nada-nada yang semakin merendah. Kecapi ini bisa distel dalam susunan tangga nada salendro maupun pelog.

Pantun dalam pengertian yang kedua, yaitu suatu bentuk kesenian Sunda yang mencakup dua cabang kesenian sekaligus, yaitu seni suara dan seni sastra. Aspek seni suara dalam seni pantun ini ditunjukkan dengan adanya nyanyian (kawih) yang dibawakan oleh pemain pantun dengan diiringi instrumen pantun, suling, dan rebab besar. Sedangkan aspek seni sastra ditunjukkan dengan lakon pantun atau cerita pantun yang berbentuk prosa atau puisi dengan irama, pilihan kata, dan persajakan tertentu.

Juru Pantun
Sebelumnya telah dipaparkan bahwa di dalam kesenian pantun selain jenis instrumen musik juga terdiri atas cerita dan juru pantun. Juru pantun atau tukang pantun adalah orang yang membawakan cerita pantun. Umumnya pekerjaan ini hanya dilakukan oleh kaum pria. Karir sebagai juru pantun umumnya dimulai setelah lanjut usia, sekalipun masa berguru sudah dimulai pada usia muda. Hal ini bertalian erat dengan sistem kemasyarakatan tradisional, dimana si murid tidak selayaknya tampil selama gurunya masih mampu menjalankan tugas. Kadang¬kadang juru pantun mewariskan keahliannya kepada salah seorang anaknya.

Dalam mempelajari seni pantun, cerita dan lagu bertutur harus dihapal di luar kepala. Sejalan dengan fungsinya kadang-kadang calon juru pantun hares berpuasa ketika berguru. Bersamaan dengan itu dihapalkan pula berbagai mantra serta pengetahuan mengenai jenis-jenis sesajen, berbagai pantangan, cara memetik kecapi, dan sebagainya. Setiap juru pantun menjalankan tata cara mantun sebagaimana yang diajarkan gurunya.

Acapkali juru pantun dikaitkan dengan masalah kebutaan jasmaniah, karena banyak juru pantun yang tuna netra. Akan tetapi tidak semua juru pantun tuna netra. Yang jelas daya ingat yang dimililci oleh orang-orang tuna netra umumnya kuat, sehingga dapat membantu dalam menghapal kalimat-kalimat yang terikat oleh irama, pilihan kata, dan persajakan tertentu. Dewasa ini pekerjaan sebagai juru pantun kurang diminati orang, khususnya generasi muda.

Pertunjukan Kesenian Pantun
Dalam bentuknya yang utuh, cerita yang biasa dibawakan dalam pertunjukan Kesenian Pantun, merupakan cerita panjang, yang umumnya cukup untuk dituturkan semalam suntuk.

Pertunjukan seni pantun biasanya diadakan dalam rangka merayakan pesta perkawinan, khitanan, menyambut kelahiran bayi, upacara penyimpanan padi ke lumbung (ngidepkeun pare), dan upacara ruatan.

Penyelenggaraan pertunjukan biasanya semalam suntuk dari pukul 21.00 sampai pukul 05.00 dini hari, kecuali untuk acara khitanan, yang biasanya diadakan pada pagi hari.

Penulis            : Sena Subagja
Nim                 : 18123089

SUMBER : LP Edisi 16/Desember 1998 ISSN 0854-7475 Kesenian Daerah Di Jawa Barat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung.



Rabu, 22 Mei 2019

Kesenian Angklung Buncis


Kesenian Angklung Buncis Kampung Cipurut, Desa Baros, Arjasari Bandung


·         Pengertian Angklung Buncis
Seni angklung di Kampung Cipurut, Desa Baros, Arjasari-Bandung disebut Buncis. Istilah buncis diambil dari sisindiran yang mengandung kata buncis seperti berikut.
Cis kacang buncis nyengcle (kacang buncis terletak diatas sesuatu)
Ti anggo lati inem (dipakai sepatu inem?)
Eces caang hasil gawe(jelas nyata hasil kerja)
Tina awi nu karendem (dari bambu yang terendam).
Syair sisindiran di atas terdiri atas sampiran pada bait pertama dan kedua, serta isi pada bait ketiga dan keempat. Bagian sampiran sukar untuk di terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Sampiran tersebut merupakan bahasa yang murwakanti saja, sedangkan bagian isi mempunyai arti bahwa, “...terciptanya angklung itu adalah hasil kerja nyata yang di ilhami oleh potongan bambu yang beradu dalam aliran sungai yang deras karena banjir.” (Memed sutisna wawancara angklung 16 Maret 1997). Pendapat lain mengatakan bahwa sebelum dibuat angklung, tampaknya bambu itu direndam dulu. Ada kebiasaan di kampung untuk merendam dulu bahan bambu ereng agar tidak keropos dimakan rayap (Iskandar Waisd, wawancara, 18 Desember 1998).
·         Sejarah Angklung Buncis
Rombongan angklung buncis di Arjasari-Bandung yang bernama “Daya Sunda” dipimpin oleh Memed Sutisna. Menurut keterangannya, buncis telah hidup secara turun-temurun sejak abad ke-18, tepatnya sejak tahun 1772. Selanjutnya kisah terciptanya buncis ini dituturkan sebagai berikut:
Dulu ada seseorang yang dikenal dengan nama panggilan Aki Bonce. Pada saat terjadi hujan besar, Aki Bonce memasang perangkap ikan di sungai. Disebabkan hujannya besar, sungai itu pun banjir. Aliran airnya yang deras membawa sampah-sampah yang diantaranya terdapat potongan-potongan bambu. Potongan-potongan bambu yang bergerak terbawa aliran air yang deras tersebut saling beradu satu sama lain sehingga menimbulkan bunyi yang khas. Bunyi potongan-potongan bambu yang beradu tersebut terus direnungi. Peristiwa bunyi potongan bambu dalam aliran air deras ini kemudian mengilhami Aki Bonce untuk membuat alat musik dari bambu yang sampai sekarang dikenal sebagai angklung buncis.
Kisah ini pun telah dijadikan isi sisindiran syair “kacang buncis” Abah Engka, pemain tertua dalam rombongan buncis , membenarkan kisah tersebut. Akan tetapi dia mempunyai pendapat lain yaitu ....”jauh sebelum Aki Bonce, Buncis sudah ada” (wawancara 9 Juni 1997). Jadi mungkin Aki Bonce hanya merupakan salah seorang generasi penerus atau semacam figur simbolis saja.
·         Bentuk pertunjukan
Pertunjukan angklung buncis berkaitan dengan upacara menanam padi. Dulu, hingga tahun 1940-an, kesenian ini digunakan untuk acara ngidepkeun (menyimpan padi ke lumbung). Acara pertunjukan diselenggarakn setelah panen. Padi hasil panen diangkut menggunakan rengkong ke lumbung, acara dilanjutkan dengan kesenian pantun. Rangkain acara dimaksud merupakan bagian penghormatan kepada Dewi Sri. Namun tidak lama kemudian, acara seperti ini tidak dilakukan lagi. Angklung Buncis tidak lagi digunakan dalam upacara ngidepkeun. Angklung Buncis juga berfungsi sebagai sarana hiburan.
·         Peralatan
Alat musik yang digunakan Angklung Buncis adalah :
9 buah angklung, terdiri atas :
2 angklung indung
2 angklung ambruk
2 angklung panempas
2 angklung pancer
1 angklung enclok
3 buah dogdog, terdiri atas:
1 dogdog talingtit (yang paling kecil)
1 dogdog panempas (yang berukuran sedang)
1 dogdog badblag (yang berukuran besar)

Nama : Indra Adithia Pratama
Nim : 18123110
Sember materi : Masunah, Juju dkk.Angklung DI Jawa Barat Sebuah Perbandingan.UPI BANDUNG.2003