Jumat, 14 Juni 2019

Kesenian Tayuban

KESENIAN TAYUBAN: KESENIAN MASYARAKAT MENAK CIREBON


Tayuban dalam pengertian umum menunjuk kepada jenis kesenian tradisional yang dilihat dari segi penyajiannya merupakan penyajian tarian yang diiringi oleh musik gamelan. Tayuban adalah bentuk tarian seorang diri, berpasangan antara pria dan wanita dan menari secara bersama-sama, sedangkan gamelan dan sinden adalah seperangkat iringan untuk tarian tersebut.
Kesenian Tayuban adalah salah satu kesenian yang berkembang di Cirebon, Jawa Barat. Ciri khas dari kesenian tayuban adalah dengan adanya ronggeng (ledhek), pemair dan baksa. Kesenian ini berkembang di kalangan menak dan rakyat. Pada awalnya, kesenian tayuban berasal dari kalangan menak atau bangsawan yang berada di wilayah Keraton Cirebon. Di kalangan menak, fungsi dari kesenian tayuban sebagai penyambutan tamu agung bahkan sebagai media untuk meneguhkan keimanan dan keIslaman para pejabat keraton dan dalam acara tersebut, setiap tamu yang menjadi penari utama diperkirakan imannya sudah goyah. Namun, pada masa pemerintahan Hindia-Belanda kesenian Tayuban ini tidak lagi sebagai media dakwah, melainkan sebagai hiburan saja.
Pada masa pemerintahan Hindia-Belanda Tayuban beralih fungsi menjadi hiburan kalangan menak. Dalam bentuk penyajiannya, Tayuban tidak terlepas dari ronggeng, minuman beralkohol, dan uang. Ronggeng adalah pelaku wanita yang memerankan fungsi ganda yaitu bernyanyi (ngawih/nyinden) dan menari sebagai partner pria, minuman keras adalah minuman yang mengandung alkohol baik yang diramu secara tradisional maupun berupa kemasan, sedangkan uang baik yang berbentuk koin maupun lembar kertas adalah benda yang diberikan oleh penari maupun penonton kepada ronggeng sebagai nadzar. Bahkan hiburan dalam hal ini menimbulkan konotasi negatif, karena tidak jarang terjadi transaksi seks antara ronggeng dan pria-pria hidung belang.
Namun demikian, Soedarsono menegaskan bahwa dibalik citranya yang sering membuat gairah kaum lelaki, sebenarnya tayub memiliki nilai ritual yang cukup penting bagi masyarakat yang hidupnya masih diwarnai budaya agraris. (Soedarsono Sp., 1991 :34)
Struktur pertunjukan Tayuban di Keraton Cirebon, diawali dengan lagu bubuka,yaitu Jipang Walik, kemudian Bayeman. Setelah itu, dilanjutkan acara playon, yaitu seorang penari bubuka atau baksa yang (pria) yang diiringi dua orang ronggeng, menari dan memberikan soder atau selendang kepada penari utama. Setelah pemain pemain pokok menyelesaikan tariannya, dengan ditemani oleh seorang ronggeng, lalu masuklah pemair dengan ditemani oleh seorang ronggeng, kemudian muncul pemair yang lainnya sambil membawa minuman hidangandengan gelas “sloki”, kemudian mereka minum dan menari bersama.
Adapun jumlah babak yang digelar dalam acara tayuban tersebut adalah sebanyak tiga babak. Namun, sudah tentu jumlah ini bersifat tidak mutlak, dan sangat bergantung pada jumlah tamu undangan yang akan menjadi partisipan sebagai pengibing di arena tayuban. Karena, gerak pengibing termasuk gerakan spontanitas, dan lamanya pengibing menari sangat ditentukan oleh situasi dan kondisi (mood). Jadi, bisa dikatakan, lamanya si pengibing menari tidak ditentukan oleh panjang atau pendeknya lagu iringan karawitannya.
Namun demikian, lagu iringan yang sudah menjadi wajib dalam acara tayuban adalah, Jipang Walik yang dilanjutkan dengan Bayeman. Setelah itu pengibing menari dalam lagu tumenggungan, laras slendro. Gamelan yang dipakai, diantaranya; satu pangkon bonang, dua pangkon saron, satu pangkon titil, satu pangkon kenong, satu pangkon jenglong, satu pangkon ketuk, satu pangkon klenang. Dua buah kemanak, tiga buah gong (kiwul, gong sabet, dan gong telon), seperangkat kecrek, dan seperangkat kendang (kempyang, gendang, ketipung).
Pelaku pertunjukan, diantaranya :
    1. Penari pokok (Pengibing)
Pria yang tampil pertama kali dalam sebuah lagu, biasanya “gegeden”, atau yang dipandang terkemuka diantara yang hadir (contoh, petinggi pemerintahan).
    1. Pamair
Pamair adalah penari pria yang mairan (merespon), yang turut menari bersama dengan penari pokok. Biasanya hanya 2-3 orang.
    1. Ronggeng adalah penari wanita yang profesional yang difungsikan sebagai partner penari pria, dan juga ngawih.
    2. Juru Baksa adalah seorang penari pria yang tugasnya mengatur giliran yang menari.
    3. Nayaga/Wiyaga adalah sekelompok penabuh gamelan yang pada umumnya pria dewasa. Mereka berasal dari kalangan masyarakat biasa yang memiliki profesi sebagai penabuh gamelan.
Busana yang digunakan adalah busana harian golongan menak pada masa silam. Busana Pria terdiri dari sinjang, baju takwa, bendo atau udeng, stagen, epek, dan keris. Sedangkan Ronggeng, memakai sinjang, apok, kebaya, saoder dan rambut disanggul.
Apabila sudah tiba saatnya kegiatan menari diakhiri, maka dihidangkan lagu-lagu penutup, dan yang paling umum adalah Kebo jiro, Samarangan, dan Jiro Lekasan. Apabila tamu gegeden belum meninggalkan arena tayuban, para tamu yang lain tidak boleh meninggalkan ruangan.
Pada perkembangannya, kesenian ini beralih fungsi menjadi hiburan di masyarakat kemudian tersebar luas di masyarakat Priangan menjadi Ibing Tayub.


Penulis : Alyaa Bilqiis
NIM : 18123093
Sumber materi : Ramlan, Lalan. Tayub Cirebonan : Artefak Budaya Masyarakat Priyayi. 2008. STSI BANDUNG.
Sujana, Anis. Tayuban Kalangenan Menak Priangan. 2002. STSI BANDUNG.
Sumber foto : koleksi foto dari buku Ramlan, Lalan. Tayub Cirebonan : Artefak Budaya Masyarakat Priyayi. 2008. STSI BANDUNG.

Senin, 03 Juni 2019

Kesenian Lais

LAIS




Lais ?
Lais merupakan suatu jenis pertunjukan rakyat di Jawa Barat yang mirip akrobat. Tetapi, karena kegiatan apapun dalam masyarakat Sunda tradisional ini selalu tidak lepas dari kepercayaan penduduknya, maka keterampilan akrobatik yang dilakukan oeh pemain – pemain lais itu pun dipercaya mendapat bantuan gaib. Selain itu, tentu saja lais juga diberi nafas seni dengan dimasukannya tetabuhan dan dilantunkannya lagu – lagu selama pertunjukan.
Pertunjukan lais terutama mempertontonkan keterampilan satu atau dua orang pemain lais yang berjalan atau duduk di atas tali tambang yang direntangkan di antara dua ujung bambu. Tali tambang tersebut selalu bergoyang dan bambunya pun bergerak gerak selagi menyangga beban dan gerakan pemain lais tersebut.
Lais terdapat di Kabupaten Sumedang, Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Cirebon, dan Bandung. Lais dapat disaksikan pada acara – acara kenegaraan, hajatan, pernikahan ataupun khitanan.
Pertunjukan
Pertunjukan kesenian akrobatik dimana seorang pemain bermain diatas seutas tali yang memiliki panjang 6 meter yang terbentang dan di ikat diantara dua buah bambu yang ketinggian bambu tersebut sekitar 12 – 13 meter. Kesenian ini sudah ada sejak zaman belanda, tepatnya di kampung Nangka Pait, Kec. Sukawening, Garut, Jawa Barat. Nama kesenian ini diambil dari seseorang bapak - bapak bernama “Laisan” yang terampil dalam memanjat pohon kelapa, yang sehari – harinya dipanggil Pak Lais.
Pertunjukan yang ditampilkan pertama – tama pelais memanjat bambu lalu berpindah ke tambang sambil menari dan berputar di atas tali tanpa menggunakan sabuk pengaman yang di iringi dengan musik kendang pencak, reog, terompet dan dog – dog. Kesenian ini mempertontonkan ketangkasan pemainnya dan sebenarnya hampir mirip dengan akrobat yang ada di acara sirkus. Pemain Lais yang beratraksi dapat membuat penonton terpesona karena selalu membuat atraksi ini berdebar – debar.
Kesejarahan
Sejarah dari kesenian Lais ini terinspirasi dari cara Pak Lais dalam memanjat pohon kelapa sangatlah berbeda dengan kebanyakan orang. Jika orang lain memanjat satu per satu pohon kelapa, namun beliau hanya memanjat sekali saja untuk mengambil kelapa dari beberapa pohon. Caranya setelah memanjat pohon kelapa dan mengambil kelapa, beliau tidak hanyak langsung turun, namun ia mencari pelapah pohon kelapa lainnya dan langsung berayun untuk berpindah tempat begitu seterusnya. Karena keahliannya ini, beliau selalu di panggil untuk memetik kelapa oleh warga kampung. Tak dielakan keterampilannya ini selalu menjadi tontonan masyarakat, terutama anak – anak. Terkadang orang yang menonton tidak hanya bersorak sorai namun membunyikan tabuhan sambil menari.

Penulis : Ramadhan Purwa Gumilar
Nim : 18123105
Sumber materi : “Khasanah Kesenian Daerah Jawa Barat”. 1982 . Karya Atik Soepandi dan Enoch Atmadibrata.

Sumber dokumentasi : - digarut.com

Kesenian Gamelan Ajeng

GAMELAN AJÉNG
Apa Itu Ajéng?
Ajéng adalah suatu perangkat gamelan yang terdapat di Jawa barat, yang kelengkapan instrumentasinya (jumlah waditra) hampir sama dengan satu perangkat gamelan pelog. Ada dua jenis ajeng yang amat berbeda gayanya, pertama yang terdapat di daerah sumedang, dan kedua terdapat di wilayah Karawang dan Bogor ( khususnya di kecamatan cileungsi).
Perbedaan dari kedua gaya ajéng itu, di sumedang (wilayah pegunungan) instrumentasinya lebih mendekati gamelan rénténg, sedangkan yang di Karawang dan Bogor (wilayah pantai) lebih mendekati ensambel gamelan salendro atau pelog. Selain itu, jika ajéng sumedang tidak memakai alat melodis (walau kadang – kadang ada yang memakai suling), ajéng Karawang dan Cileungsi memakai tarompet khas yang hanya ada dalam pertunjukan gamelan ajéng.
Kesejarahan
Ajéng dahulunya diberi nama “Jangkar Alam” karena alat musiknya diperoleh dari dalam tanah yang penuh dengan jangkar (akar yang bercabang diatas tanah) saat penggalian tanah (Tutun,1981: 2). Seiring perkembangannya nama jangkar alam berubah jadi “Ajéng” yang diambil dari “pangajéng – ngajéng” karena seni tradisional tersebut pada waktu itu sering ditampilkan pada acara pernikahan berfungsi sebagai hiburan untuk menghormati kedatangan para tamu undangan.
Waditra Yang Digunakan
  • Bonang

  • Saron

  • Demung

  • Goong

  • Kempul

  • Bendé

  • Kendang

  • Gambang

  • Tarompet

  • Kromong

  • Cemes


Pertunjukan
Pertunjukan ajéng dalam suatu pesta biasanya dimulai malam hari, berlangsung sepanjang malam hingga berikutnya siang dan malam. Pada umumnya gamelan itu diletakkan diatas panggung yang tingginya mencapai dua meter atau lebih, karena itu umumnya tamu undangan ataupun bukan undangan tidak bisa melihat para musisinya yang main pada ketinggian itu. Ajéng dimainkan selama acara selamatan berlangsung tapi dengan banyak istirahat dari waktu ke waktu .
Repertoar Lagu
Ajéng gaya Sumedang : Kebo Jiro, Papalayon, Éngko, Galatik Nunuk, Renggong Buyut, Kembang beureum, Titipati, dan lainnya.
Ajéng gaya Karawangan : Carabali, Timblang, Gagambangan, Matraman, Banjaran, Jiro, dan lainnya.

Penulis : Ramadhan Purwa Gumilar
Nim : 18123105
Sumber materi : “Khasanah Kesenian Daerah Jawa Barat”. 1982 . Karya Atik Soepandi dan Enoch Atmadibrata. “Tinjauan Deskriptif Kesenian Ajéng”. 1981. Skripsi yang disusun oleh Tutun Hatta Saputra.
Sumber dokumentasi : - Gamelan Ajeng via dwichieamalia.blogspot.co.id

Kamis, 30 Mei 2019

Kesenian Gamelan Degung


Gamelan Degung


Degung merupakan salah satu gamelan khas dari hasil kreativitas masyarakat sunda. Gamelan yang kini jumlahnya telah berkembang pesat, diperkirakan awal perkembangannya sekitar abad ke 18/ awal abad ke 19. Jaap Kunst yang mendata gamelan.
Masyarakat Sunda dengan latar belakang kerajaan yang terletak di hulu sungai, Kerajaan Galuh misalnya, memiliki pengaruh tersendiri terhadap kesenian degung, terutama lagu-lagunya yang yang banyak diwarnai kondisi sungai, di antaranya lagu Manintin, Galatik Manggut, Kintel Buluk, dan Sang Bango. Kebiasaan marak lauk masyarakat Sunda selalu diringi dengan gamelan renteng dan berkembang ke gamelan degung.
Dugaan-dugaan masyarakat Sunda yang mengatakan bahwa degung merupakan musik kerajaan atau kadaleman dihubungkan pula dengan kirata basa, yaitu bahwa kata “degung” berasal dari kata "ngadeg" (berdiri) dan “agung” (megah) atau “pangagung” (menak; bangsawan), yang mengandung pengertian bahwa kesenian ini digunakan bagi kemegahan (keagungan) martabat bangsawan. E. Sutisna, salah seorang nayaga Degung Parahyangan, menghubungkan kata “degung” dikarenakan gamelan ini dulu hanya dimiliki oleh para pangagung (bupati). Dalam literatur istilah “degung” pertama kali muncul tahun 1879, yaitu dalam kamus susunan H.J. Oosting. Kata "De gong" (gamelan,bahasa Belanda) dalam kamus ini mengandung pengertian “penclon-penclon yang digantung”.
Gamelan yang usianya cukup tua selain yang ada di keraton Kasepuhan (gamelan Dengung) adalah gamelan degung Pangasih di Museum Prabu Geusan Ulun, Sumedang. Gamelan ini merupakan peninggalan Pangeran Kusumadinata (Pangeran Kornel), bupati Sumedang (17911828).
Gamelan Degung adalah semacam waditra pukul (instrumen perkusi) berbentuk 6 buah gong kecil yang tentunya berlaras Degung.  Biasanya di gantungkan secara berderet pada sebuah gantungan yang disebut ancak/rancak. Sekarang waditra ini dijadikan nama perangkat waditra yang disebut “Gamelan Degung”
Fungsi gamelan kesenian ini sebagaimana telah disebutkan bahwa gamelan Degung digemari oleh pangagung sebagai media hiburan kepada para tamu undangan. Adapun fungsi gamelan Degung pada saat ini adalah sebagai media hiburan pada resepsi-resepsi pernikahan, khitanan, kalangenan dan lain sebagainya. Selain itu gamelan Degung sering digunakan untuk mengiringi upacara adat pernikahan, upacara penyambutan tamu dan mengiringi tari dalam pertunjukan. Dan bagi orang-orang asing, gamelan Degung dijadikan bahan penelitian sebagai perbandingan music-musik yang ada di dunia.
Gamelan degung ini menggunakan laras degung, dan bukan hanya menggunakan gong gantung namun ada lagi seperti :
-          Jenglong (degung) berfungsi sebagai “balunganing gending”
-          Boning (kolenang) berfungsi sebagai “murda lagu”
-          Peking berfungsi sebagai lilitan lagu
-          Panerus berfungsi sebagai kemprangan
-          Goong berfungsi sebagai pengatur “wiletan” disebut “raksa wiletan”
-          Kendang berfungsi sebagai “uparengga lagu”
Pada pertumbuhannya gamelan Degung tidak disertai dengan “sekar” (vocal). Sekarang lazim gamelan degung disertai dengan sekar, baik “anggana sekar” (solo) atau “rampak sekar” (koor) dan juga bisa di tambahkan alat music lainnya seperti kacapi dan suling. Hal ini dimungkinkan dengan adanya penambahan waditra sebagaimana telah dikemukakan pada bagian terdahulu.
Gamelan Degung biasa dimainkan di acara rapat-rapat tertentu bisa juga di acara pernikahan, khitanan dan acara lainnya. Bentuk penyajianya, gamelan di simpan di bawah dan nayaga (pemain) duduk lesehan. Biasanya di acara rapat para nayaga tidak boleh meninggalkan tempat acara, dan harus menunggu sampai acara itu selesai. Dan gamelan Degung tidak hanya dimainkan oleh para nayaga  yang terdiri dari laki-laki, tapi gamelan Degung bisa juga dimainkan oleh nayaga wanita.
Demikian lah sedikit artikel yang mebahas tentang gamelan Degung, mohon maaf bila artikel ini masih banyak kekurangan dalam kata-kata dan materi dan saya harapkan para pembaca memakluminya.. Terima kasih..!!!!


Penulis           : Ahmad Putra Winengku
Nim                : 18123095
Sumber          :Entjar Tjarmedi, Entis Sutisna, Pandi Upandi S.Kar. Degung    Kemprangan. STSI Bandung.
Entjar Tjarmedi, Deded Suparman, Entis Sutisna, Asep Resmana. 1995. PEDOMAN LAGU-LAGU KLASIK DAN KREASI GAMELAN DEGUNG. STSI Bandung.
Sumber dokumentasi : Dokumen Pribadi.